(Foto kodok bangkong menjelang masa perkawinan: dokumen pribadi)

Kodok bangkong. Setelah sekian lama tinggal di kota baru tahun ini menemukan kodok bangkong kawin. Meskipun perkawinannya tidak semegah di pedesaan yang dilakukan secara masal dengan “tembang” yang dihasilkan dari  sahut-sahutan suara kodok yang jumlahnya ratusan. Ditambah lagi suara katak, jangkrik, belalang, dan serangga lain yang menimbulkan sensasi suara yang menyejukkan hati.

Kodok bangkong merupakan jenis katak yang menurut sebagian orang menjijikkan karena bentuk kulit yang menyeramkan. Bahkan tak jarang, orang-orang desa mengatakan bahwa kodok ini beracun. Binatang amfibi ini sering dijumpai berserakan di jalan terutama saat musim penghujan dan saat bulan purnama. Kodok jenis ini memiliki beberapa sebutan di  Indonesia, antara lain kodok Buduk, kodok Berut/ Kerot. Secara internasional, memiliki nama ilmiah Bufo melanostictus. Adapun jenjang takson dari kodok ini sebagai berikut.

Kingdom         : Animalia

Filum               : Chordata

Kelas                : Amphibia

Ordo                 : Anura

Famili              : Bufonidae

Genus              : Bufo (Laurenti, 1768)

Spesies            : Bufo melanostictus (Schneider, 1799)

Siklus hidup dari kodok ini sama dengan katak pada umumnya, yakni melalui fase telur, berudu, katak kecil, dan katak dewasa. Dilihat dari ukurannya, kodok jantan lebih kecil dibanding betina. Kodok bangkong memulai masa kawin pada awal musim penghujan. Posisi kawin, jantan berada di atas punggung betina sambil menekan perut betina degan tujuan untuk merangsang pengeluaran sel telur (ovum) ke lingkungan.

Disadur dari kompas.com, bahwa kodok mengalami puncak pesta seks pada waktu bulan purnama. Yang masih tinggal di desa bisa mencoba meneliti ya. Bukan hanya manusia saja yang bisa bermesraan dengan kekasihnya pada bulan purnama, jenis amfibi juga. Perilaku ini telah diteliti oleh ahli biologi, Rachel Grant pada tahun 2005- 2007.

Fertilisasi atau perkawinan kodok terjadi di luar saluran reproduksi betina (eksternal). Betina mengeluarkan sel telur di lingkungan yang berair, misalnya sawah, sungai, kolam. Jantan akan mengeluarkan sperma ke lingkungan dimana telur dari betina dikeluarkan. Sekali masa mengeluarkan sel telur, jumlahnya bisa mencapai ribuan. Jumlah yang begitu banyak disebabkan karena resiko kegagalan dalam pembuahan sangat besar karena terjadi di luar tubuh. Faktor penyebab kegagalan antara lain adanya predator telur, misalnya ikan. Kemungkin lain  telur terseret arus air dan terkena benda keras atau telur-telur tersebut terdampar dalam lingkungan yang kering. Telur kodok tidak bercangkang, hanya di bungkus oleh selaput tipis seperti gel sehingga mudah rusak terutama dalam kondisi yang kering.

(Foto telur kodok: faunadanflora.com)

Sel Telur yang berhasil dibuahi oleh sperma akan menetas sekitar 3 minggu. Setelah  itu memasuki tahap berudu. Berudu bernafas dengan insang dan bergerak dengan menggunakan ekornya. Makanan berudu berupa alga, phytoplankton, dan zooplankton dalam air. Kurang lebih makanannya mirip dengan ikan. Fase berudu akan terjadi sekitar 6 minggu. Selama waktu ini berudu akan menyempurnakan organ tubuhnya dan terjadi perkembangan beberapa organ yang  mendukung kehidupan saat menjadi katak muda. Misalnya mulai tumbuhnya kaki belakang dan diikuti kaki depan. Begitu juga alat pernafasan yang berupa paru-paru juga mulai berkembang.

(Foto berudu kodok bangkong: kopi-ireng.com)

Fase ketiga yakni memasuki tahap menjadi kodok muda yang berlangsung kurang lebih 3 minggu. Kodok muda memiliki ciri ekor yang mulai memendek dibandingkan ekor pada fase berudu, alat pernafasan sudah mulai beralih menggunakan paru-paru, bentuk raut kepala juga sudah berubah. Ciri tersebut memang diadaptasikan untuk lingkungan darat. Katak muda juga mengalami perubahan perilaku, yakni mulai berani berkelana di darat.

(Foto kodok bangkong muda: jempolkaki.com)

Berikutnya, kodok akan berkembang menjadi kodok dewasa. Semua organ tubuh sudah sempurna untuk mendukung kehidupannya di darat dan air, antara lain kaki yang berjumlah 2 pasang dimana kaki belakang lebih panjang ukurannya dibandingkan kaki depan. Kedua pasang kaki juga dilengkapi dengan selaput renang. Morfologi kaki yang demikian berfungsi untuk berenang di air. Alat pernafasan berupa kulit dan paru-paru. Kodok bangkong berbeda dengan jenis katak lain misalnya katak sawah, termasuk dalam hal mobilitas. Kodok buduk ini memiliki mobilitas yang relatif lambat, terutama betina. Hal ini disebabkan karena ukuran kaki yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan katak jenis lain. Selain itu, kodok dewasa ukurannya juga besar sehingga menghambat mobilitasnya.

(Foto kodok bangkong dewasa: emnuruzz.blogspot.com)

Bagi sebagian orang, kodok berkulit kasar tersebut menjijikkan dan dianggap penggangu dalam ekosistem. Memang ada benarnya, kodok ini menjadi pengganggu bagi ekosistem, namun dia juga memiliki peran yang sangat penting dalam ekosistem terutama ekosistem sawah. Ketika berada di kolam ikan, kodok ini dianggap pengganggu karena mengganggu kelangsungan hidup ikan di kolam. Kulit kodok yang berbintil-bintil kasar disinyalir mengandung racun yang dapat mematikan populasi ikan di kolam. Selain itu, kotoran dalam jumlah yang banyak dapat menjadi racun yang dapat membunuh ikan dalam kolam. Meskipun beracun bagi hewan lain tapi racunnya tidak akan mematikan manusia, apalagi jika hanya memegang saja. Jika dikonsumsi, ceritanya beda lagi karena pembahasannya sudah berhubungan langsung dengan pencernaan.

Baca juga: Waspadai Penggunaan Bahan Kimia Sintetis di Bidang Pertanian

Jangan hanya melihat dari rupa si kodok buduk ini ya sobat. Why? Ternyata si kodok ini memiliki peran yang sangat penting bagi ekosistem, karena berfungsi sebagai predator hama tanaman. Hama yang kerap menjadi makanan kodok antara lain belalang, ulat hijau, kepik, dan berbagai hama lain terutama dari kelompok insekta/serangga. Jika petani bersikap cerdas terhadap sifat kodok sebagai pemangsa serangga, maka dapat mengembangkan populasi kodok di kompleks persawahan untuk meminimalkan populasi hama. Dengan cara tersebut, petani bisa meminimalkan ketergantungan dengan insectisida sintetis dan bisa menjaga keseimbangan alam.

Salam Tani!