Pertanian konvensional masih mendominasi pasar pangan pada umumnya. Namun bagi masyarakat yang sadar dengan kesehatan, akan berburu produk pertanian organik. Bahkan saat ini lagi booming gaya hidup sehat ala organik. Sayur, buah, ikan, beras, telur, ayam, produk olahan, kosmetik banyak yang dijual dengan label organik beserta nomor sertifikat organiknya.
Menurut tirto.id, untuk mendapatkan sertifikat organik butuh perjuangan biaya yang lumayan. Untuk penerbitan sertifikat organik baru, kisaran 15-30 juta/ 3 tahun. Perpanjangan sertifikat kisaran 7,5-15 juta/ 3 tahun.
Proses pengajuan juga memakan waktu yang agak lama karena perlu beberapa langkah peninjauan dan uji laboratorium produk untuk mengetahui kadar bahan kimia sintetis yang terkandung di dalamnya. Jika berhubungan dengan budidaya tanaman organik, maka lingkungan yang berhubungan dengan tanaman dimana dalam hal ini adalah tanah, air, dan udara juga dilakukan peninjauan oleh lembaga sertifikasi.
Sertifikat organik biasanya dimiliki oleh kelompok tani organik, karena biaya yang relatif besar. Dengan pengajuan secara berkelompok, maka biaya dapat di gotong bersama. Selain biaya juga penyiapan lahan dapat dilakukan bersama-sama dengan anggota kelompok sehingga mempercepat kerja.
Mengacu pada kategori pelabelan yang berlaku di Amerika yang dikutip oleh tirto.id, bahwa ada empat kategori produk. Label pertama yaitu 100% organik jika memang tidak ada bahan kimia sintetis yang terkandung dalam produk. Label kedua adalah organik yang memiliki batas toleransi bahan sintetis 5%. Artinya, kadar bahan sintetis yang diperbolehkan 5%. Label ketiga dan keempat tidak termasuk kategori organik. label ketiga, kontaminan sintetis 30%. Label ke empat, kontaminan sintetis lebih dari 30%.
Batas kontaminan bahan sintetis sebesar 5% sudah bisa masuk kategori organik. Hal ini menandakan bahwa bahan tersebut dapat ditoleransi oleh tubuh manusia sehingga tidak membahayakan manusia yang mengkonsumsinya. Lalu bagaimana dengan kadar kimia sintetis yang melebihi dosis 5%? Terlebih lagi apabila sampai melebihi 30%. Produk dengan kadar kontaminan lebih dari 5%, tentu didominasi oleh pertanian pada umumnya yang menggunakan bahan sintetis, mulai pupuk hingga pestida.
Baca Juga: Pertanian Organik dan Non Organik. Serupa tapi Tak Sama
Kalau model pertanian yang disebut konvensional (anorganik) tidak segera dibuatkan standart, berarti sebagian besar makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia akan bersifat toksik yang dapat mengancam kesehatan. Dan tidak adil rasanya kalau ada sertifikat buat pertanian organik sedangkan pertanian konvensional (non organik) tidak ada sertifikat.
Masalah kadar bahan anorganik yang terkandung dalam produk makanan seharusnya bisa ditekan hingga mencapai kadar tidak lebih dari 5%, meskipun dalam proses produksinya menggunakan cara yang disebut konvensional. Standardisasi ini bertujuan untuk menghapus kecemburuan sosial petani. Seolah-olah pertanian konvensional yang salah karena menyediakan makanan dengan kadar “racun” yang tinggi.
Baca juga: Waspadai Penggunaan Bahan Kimia Sintetis Di Bidang Pertanian
Fakta di lapangan memang sering ditemukan adanya petani yang menggunakan pestisida, insektisida, fungisida yang tidak sesuai aturan. Sekarang semprot, besok dipanen. Besoknya lagi sudah sampai ke konsumen. Yang digunakan untuk nyemprot juga oplosan dari berbagai bahan dari toko pertanian yang kabarnya manjur. Bukan salah petani secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena standardisasi pertanian belum ada di Indonesia. Jangankan di Indonesia, standardisasi pertanian Internasional saja belum ada. Tiap negara beda standarnya, termasuk juga standar organik. Di Indonesia sudah bisa dapat label organik, belum tentu di Jepang, Inggris, Belanda atau negara lain sudah masuk kategori organik.
Upaya pemerintah masih kabur dalam menata pertanian di Indonesia, termasuk standardisasi tata kelola pertanian. Pemerintah melalui dinas pertanian perlu pendampingan lebih kepada petani terutama dalam penggunaan bahan sintetis yang dapat memicu munculnya residu racun berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Sampai sejauh ini belum tercipta kolaborasi yang kuat antara dinas pertanian dan petani. Masih sering terjadi perseteruan di antara kedua pihak. Petani memiliki anggapan bahwa dinas pertanian menang di teori saja, praktik tidak bisa. Sedangkan dinas pertanian juga bersikeras dengan metodenya yang mengutamakan teori dibanding praktik. Seharusnya, dinas pertanian yang harus bisa “mengalah” untuk mengambil hati petani, harus benar-benar berani terjun ke sawah langsung untuk melaksanakan planingnya dalam bertani. Jika berhasil, kemungkinan besar petani akan “takluk” dan mengikuti ide pihak dinas.
Semoga panen para petani melimpah amin
Aamiin. Mulai kecil sampek segede ini ndelok nasibe petani kok ya gitu gitu aja. Tapi sehat sehat si mereka.
Membaca ini kok jadi pengen ngetok pintunya dinas pertanian. Knok2 ayo turun ke sawah ojo ne mburi mejo wae.
Ayo diketuk bareng bareng lewat tulisan kang. Pertanian di malang sudah lumaysn. Tuban ini bagaimana ya? Kayake kerang maksimal dinasnya. Padahal setiap daerah punya potensi lo. Tuban panas, kalau musim kemarau bisa tanam semangka, blewah, melon, dll. Rasa yang dihasilkan bisa lebih manis dibanding daerah malang. Sayang ni kalau tuban belum ada komoditi pertanian yang bisa diajukan