Kecap laron, merupakan salah satu ikon kebanggaan Tuban. Kecap ini menjadi primadona di pasaran baik di Tuban maupun luar Tuban. Kualitasnya yang mampu bersaing dengan kecap premium lainnya.

Kecap lokal kualitas nasional ini, mengalami sejarah yang panjang. Bukan bim salabim. Tiba-tiba jadi “raja kecap” seperti saat ini. Butuh waktu sangat lama. Jatuh. Bangun. Jatuh. Dan bangun lagi.

Bahkan mengalami estafet kepemimpinan. Menjadi warisan, yang jadi rebutan keluarga turunan pendiri. Sedikit perjalanan kecap legendaris dari Tuban ini akan kami ulas.

Cuplikan sejarah kecap laron.

Kecap laron tuban
Kecap laron Tuban: tokopedia.com

Pabrik kecap Cap Laron ini dirintis Yuwono Hadisoesanto tahun 1945 di kampung Kawatan Tuban. Nama/ cap “laron” diambil dari filosofi hidup laron yang berkelompok-kelompok, saling bantu dan rukun tidak pernah tarung.

Yuwono menjalankan usahanya selama 17 tahun. Waktu yang sangat lama.

Setelah itu, estafet kepemimpinan harus berganti ke penerus selanjutnya. Yaitu putra Yuwono: Handoyo Hadisutanto.

Dalam rapat keluarga, Handoyo ditunjuk untuk menyelamatkan pabrik kecap Cap Laron pada tahun 1972. Pabrik terlilit utang dalam jumlah yang besar.

Semula Handoyo menolak karena dua alasan

Pertama, ia punya bisnis yang cukup maju dengan karyawan 35 orang. Bisnis kue semprit cap Manalagi di Surabaya.

Kedua, di antara 5 saudara-saudaranya pasti akan iri karena bagaimanapun usaha ini kebanggaan keluarga dan telah berjasa membesarkan anak-anak papanya.

Namun sebagai putra sulung, akhirnya ia mau berkorban dengan meninggalkan pabrik kuenya yang mulai sukses di Surabaya. Ia mau berkorban untuk mengembalikan kejayaan bisnis keluarga ini. Dan untuk menutup utang, ia harus mencari uang tunai dengan cara menjual asetnya di Surabaya.

Ternyata saking besarnya utang tadi, jual asset dan kekayaan lainnya belum cukup untuk menjalankan pabrik kecap ini. Sementara pinjam bank ketika itu sulitnya setengah mati, apalagi tahu pabrik kecap Cap Laron utangnya banyak.

Maka Handoyo muda, yang baru berusia 20 tahun nekad cari penjual bahan baku yang mau dibayar di belakang. Lewat tangan Allah, Handoyo dipertemukan dengan juragan gula Jawa di Purwokerto. Gula Jawa atau gula kelapa adalah bahan baku utama kecap selain kedelai.

Dengan modal bayar belakang tadi pabrik kecap mulai lancar produksinya. Setelah bahan baku mencukupi, timbul lagi masalah lain, yakni bahan bakar kayu yang makin sulit dicari dan mahal.

Sebagai pemuda yang dibesarkan di Surabaya, ia mencari tahu tentang teknologi masak memasak dalam jumlah yang besar. Secara tidak sengaja ia masuk Pasar Turi Surabaya dan melihat ada kompor raksasa. Secepat kilat pikirannya menangkap ide menggantikan tungku kayu bakar dengan kompor minyak tanah.

Ketika itu minyak tanah adalah bahan bakar paling murah. Dengan cara ini, proses memasak bahan baku kecap (kedelai dan gula merah dicampur ramuan bumbu) bisa lebih cepat dan menghemat biaya. Pada puncak kejayaannya, tahun 1980-an sampai 1990-an (zaman Soeharto), produksi kecap Cap Laron pernah mencapai 2 ton per hari. Merek Cap Laron melejit dan terkenal se antero Indonesia.

Baca Juga: Pohon Siwalan, Ikon Kabupaten Tuban yang Patut dilestarikan

Saat pabrik kecap tersebut berumur sekitar 65 tahun, ternyata mengalami krisis penerus. Generasi ke tiga kerajaan kecap ini tidak ada yang berminat dengan usaha ini.

Terpaksa pabrik kecap kebanggaan kota Tuban ini harus dijual. Menurut Handoyo, karena sudah tidak ada lagi penerusnya. Tiga anak dari istri pertamanya tidak ada yang berbakat sementara 2 anak dari istri keduanya juga kurang berminat.

Demikian ulasan kami tentang kecap laron Tuban yang saat ini masih menjadi kecap legit seantero Indonesia. Meski sudah berpindah-pindah tangan, rasanya masih mantap.