Bermain di sawah menjadi fenomena yang langka , terutama bagi anak-anak yang tinggal di kota. Karena kegiatan di sawah kini sudah digeser oleh permainan jaman now, yakni gadget. Segala jenis permainan maya dikemas dalam bentuk aplikasi. Terlebih ketika hari libur sekolah, gadget menjadi jujugan pertama pelampiasan liburan. Namun berbeda dengan satu anak yang tinggal di Gadang, Kota Malang. Ketika liburan tiba, dia menghabiskan waktu bersama kakaknya di sawah untuk mencari belut.
Mulai pagi setelah sarapan sekitar pukul 07.00, Yoga sudah berangkat ke sawah sampai siang jam 12.00. Sambil menenteng kaleng bekas cat yang berisi sedikit air sebagai tempat belut. Tidak lupa juga kantong kresek warna hitam dia bawa kemana-mana sebagai wadah umpan belut, yaitu cacing tanah.
Bagi Yoga, menangkap belut tidaklah sulit. Hanya menggunakan alat handmade yang terbuat dari lilitan senar dan ujungnya diberi mata pancing yang diberi umpan berupa potongan cacing tanah. Saat ditemui di sawah Gadang, dengan cekatan dia memutar-mutar senar yang dililit ke dalam setiap lubang yang ada di pinggir pematang sawah. Beberapa kali memasukkan ke lubang, beberapa kali juga dia gagal mendapatkan belut. Bukan karena kalah dengan belut, namun karena zonk alias tidak ada belut di lubang yang dia pancing.
Setiap kali memancing belut, jumlah yang didapatkan tidaklah seberapa. “baru dapat dua mas mulai pagi tadi. Biasanya sampai siang dapat lima” uangkap Yoga.
Kelihatannya, anak yang berperawakan kurus tersebut memang hobi memancing, tidak dikejar target harus dapat berapa dia saat mancing. Belut yang dia peroleh juga tidak pernah dijual, hanya sebagai lauk untuk konsumsi sendiri.
Jika dia dalam setengah hari hanya dapat 5 ekor,anggap saja kakanya juga mendapat 5 ekor, maka dalam setengah hari, dia bersama kakaknya hanya dapat 10 ekor. Jumlah yang sedikit dibandingkan waktu yang dia habiskan. Padahal dengan membeli, hanya butuh waktu beberapa menit saja sudah dapat dan siap santap. Namun bukan itu tujuan mereka. Kegiatan tersebut hanya bentuk hobi berinteraksi dengan alam sekitarnya.
Jika ada yang mengarahkan, dan ada semacam sekolah yang mengajari tentang kepekaan wirausaha serta pendidikan cinta lingkungan, aktivitas Yoga bermain di sawah, tentu dapat dikembangkan menjadi sebuah penelitian yang mengarah pada jumlah populasi belut dari waktu ke waktu. Populasi akan semakin menurun karena jumlah sawah semakin sedikit, ditambah lagi tingkat pencemaran air dan tanah semakin tinggi. Hal tersebut akan menambah kepedulian anak terhadap populasi belut, sehingga dapat dikembangkan jenis wirausaha budidaya belut.
Baca juga: Dekat dengan Alam Memberi Segudang Manfaat untuk Tumbuh Kembang Anak
Sepertinya, pelaksanaan pendidikan di sekolah tidak seperti itu. Hanya terbatas pada materi baca yang ada di media cetak maupun digital. Belum ada korelasi yang signifikan antara kebiasaan anak di rumah dengan pendidikan di sekolah.
Saat ini, Indonesia butuh pendidikan yang mengangkat kehidupan nyata dalam kehidupan sehari-hari dan dijadikan pelajaran di sekolah, termasuk kegiatan sehari-hari bermain di sawah. Terlebih yang berkaitan dengan lingkungan, karena semakin hari kerusakan lingkungan semakin meningkat.
Di Indonesia teori masih terlalu mendominasi praktik. Tanpa praktik, teori hanya sebatas angka2 atau huruf2 tanpa makna. Interaksi dg alam seharusnya diperbanyak ketimbang interaksi dg dunia maya. Maka anak akan tumbuh lbh baik
Betul memang. Gimana pendidikan sains mau maju kalau cara pandang pendidikan masih seperti jaman dulu
Belut makanan kesukaanku… Lumayan sulit mencarinya kalau di desaku hehehe