Petani urban (urban farmer) saat ini mulai gencar disebut-sebut dalam pembahasan, baik itu di lingkup formal: sekolah hingga universitas. Dan lingkup in / nonformal: workshop, seminar, atau media. Urban farmer akan menjadi profesi menjanjikan di masa mendatang.
Kawasan urban/ perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Urban farmer, merupakan petani yang ada di perkotaan. Memanfaatkan lahan seadanya untuk budidaya berbagai komoditas pertanian, baik pangan maupun non pangan. Bisa menggunakan bibir jalan, di atas bangunan, teras, atau bahkan di dinding. Menggunakan metode tanam seadanya. Bisa hidroponik, aeroponik, hidroponik, tabulampot, dan berbagai metode lainnya. Media yang digunakan juga bisa variatif: kaleng, polibag, paralon, dan lain-lain.
Benarkah petani urban akan menjadi profesi menggiurkan di masa mendatang?
Iya, sangat benar. Seperti yang kami tulis lalu tentang nasib petani. Semakin lama jumlah petani semakin berkurang, karena petani hingga saat ini termarjinalkan oleh kurangnya perhatian pemerintah.
Jika petani semakin lama berkurang, maka rantai pasok bahan makanan akan berkurang terus. Apalagi jumlah penduduk semakin bertambah.
Bagaimana jika kebutuhan pangan dipenuhi dari impor?
Bisa jadi. Tapi bagaimana jika penurunan jumlah petani juga terjadi secara global? Komoditas pangan yang akan diekspor juga akan sedikit. Setiap negara akan mengutamakan terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri, baru mikir jika ada lebihnya, di ekspor saja.
Mengapa petani di kota yang jadi profesi menggiurkan? Bukan petani di desa.
Petani di kota lebih strategis dilihat dari pangsa pasarnya. Masyarakat kota yang mayoritas kerja
bukan di bidang pertanian, lebih banyak di bidang lain misalnya PNS, dosen, dagang, dan lainnya, menjadi sasaran manis pemasaran produk hasil petani kota. Pengiriman produk pun lebih cepat dibanding produk pertanian dikirim dari desa.
Harga pun bisa dipatok sendiri oleh petani, karena penjualan tidak harus melalui rantai tengkulak yang sering mencekik harga komoditi.
Petani di kota juga bisa menambah nilai jual dari produk mereka, misalnya dengan memberi kemasan dan label yang rapi, sistem penjualan berbasis online, sistem pre order untuk memberi pelayanan sayur yang fresh. Bisa juga dengan budidaya secara organik yang memiliki harga jual lebih tinggi dibanding sayur konvensional.