Refleksi Diri Setelah Perayaan Tahun Baru: Sudah Peduli Terhadap Lingkungan?

(Tumpukan sampah di sekitar Monas usai perayaan tahun baru 2018: jawapos.com)

Perayaan tahun baru masehi rupanya sudah menjadi tradisi di Indonesia. Tidak hanya di kota besar yang merayakan, namun di pelosok desa juga merayakan. Berbagai kegiatan digelar sebagi bentuk perayaan tahun baru Masehi. Entah kapan perayaan tahun baru Masehi masuk ke Indonesia dan siapa yang membawanya.

Kegiatan yang diwujudkan untuk menyambut tahun baru bermacam-macam. Di Pondok pesantren, masjid, atau mushola memperingati dengan renungan suci, diba, shalawat, dan bentuk do’a yang lainnya. Perayaan di masyarakat ada yang mengisi dengan pesta kembang api, dangdutan, konser, bahkan ada juga yang mengisi dengan pesta miras.

Salah satu daerah yang menjadi barometer Indonesia adalah ibukota, Jakarta. di Ibu kota juga pasti ada perayaan tahun baru 2018. Seperti dilansir dalam salah satu media, detik.com. Acara perayaan digelar, salah satunya di Monas. Namun pembahasan kali ini bukan acara apa yang digelar, bagaimana kronologisnya, namun bagaimana kondisi lingkungan di sekitar monas setelah perayaan.

Menurut pantauan media tersebut, sampah tisu dan berbagai bungkus makanan berserakan di sekitar Monas. Bahkan dijumpai bau pesing di beberapa titik sekitar Monas. Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI, Isnawa Adji mengatakan bahwa jumlah sampah di tahun 2018 ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu. Tahun ini sekitar 790 ton, sedangkan tahun lalu sekitar 700 ton.

Pantauan detik ternyata menimbulkan berbagai pemikiran para pembacanya. Termasuk Istamar Syamsuri lewat akun facebook menyatakan, “ini suatu indikator bahwa masyarakat belum sadar lingkungan. Walaupan masyarakat hafal bahwa KEBERSIHAN ADALAH SEBAGIAN BESAR DARI IMAN, tetapi bagaimana mengimplementasikan itu menjadi kegiatan nyata di lingkungan masyarakat masih belum sadar lingkungan (DARLING).

Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan dibuang ke lingkungan dapat menyebabkan dampak negatif yang merembet kemana-mana. Misalkan membuang sampah yang mengandung kontaminan ke sungai. Air sungai tercemar. Air tersebut mengalir ke saluran irigasi dan persawahan. Tanaman yang hidup di persawahan akan mengandung bahan berbahaya karena kontaminan dalam air. Tidak hanya itu saja, tapi hewan ternak petani yang sempat minum dari air sawah juga bisa terkontaminasi oleh bahan berbahaya. Belum lagi sumur warga yang dekat dengan air sawah, bagaimana nasibnya? Kalau daging hewan ternak, tanaman, dan air dari persawahan tersebut dikonsumsi manusia, berarti manusia akan menjadi “pabrik” yang akan menimbun bahan kimia sintetis tersebut. Jika timbunan bahan berbahaya tersebut terlalu tinggi di dalam tubuh manusia, dan  tubuh tidak dapat menguraikan, maka dapat menyebabkan berbagai gangguan metabolisme tubuh. Hingga bisa berakibat munculnya penyakit-penyakit mematikan seperti kanker dan sebangsanya.

Menurut dosen Universitas Negeri Malang tersebut, masyarakat Indonesia yang mayoritas islam masih kalah dari segi kepedulian lingkungan dibanding negara-negara di luar sana yang sebagian besar penduduknya non muslim tapi justru peduli dengan lingkungan hingga melakukan aksi pengelolaan lingkungan dengan hebat, termasuk bagaimana mengelola sampah.

Baca Juga: Pelajar Masih Perlu Peningkatan Kepedulian terhadap Lingkungan

Berdasarkan penjelasan di atas, ada beberapa hal yang perlu direnungkan, atau bahkan dimasukkan ke dalam daftar resolusi anda.

Indonesia memiliki potensi menjadi negara adidaya dalam hal lingkungan. Pertama karena mayoritas penduduknya islam yang dilengkapi dengan ajaran yang lengkap, bahkan sampai muncul ungkapan “kebersihan sebagian dari iman”. Ungkapan tersebut muncul tidak serta merta, namun karena adanya kitab Al Qur’an dan Hadits yang mengajarkan tentang kebersihan. Jika seluruh umat islam paham dan mau melaksanakannya, tidak akan ada cerita sampah berserakan di mana-mana. Dan tentu akan banyak penemuan dari umat islam terkait teknologi untuk meminimalkan sampah yang sulit terurai.

Alasan kedua, kondisi sumber daya alam Indonesia yang super duper kayanya. Dengan perlakuan yang benar terhadap sumber daya alam tersebut, Indonesia bisa menjadi paru-paru dunia. Karena jumlah vegetasi yang bisa tumbuh di Indonesia sangat banyak sehingga dapat menyerap karbondioksida dari negara-negara lain, khususnya yang menjadi negara industri.

Baca Juga: Dekat dengan Alam Memberi Segudang Manfaat untuk Tumbuh Kembang Anak

Permasalahan sampah merupakan masalah sistemik. Tidak bisa menyalahkan satu pihak saja. Pihak pemerintah mengapa tidak mendorong penelitian dan produksi secara masal bungkus makanan yang mudah terurai. Hingga kini memang ada beberapa penelitian atau proyek mahasiswa dan dosen, tapi hanya sebatas menggugurkan kewajiban membuat karya tanpa dibarengi produksi masal.

Pihak produsen makanan juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menggunakan bahan pembungkus plastik atau kertas yang cenderung lama proses penguraiaannya. Karena masih belum adanya produsen bungkus makanan yang ramah lingkungan.

Pihak penyelenggara setiap kegiatan harusnya mengajak masyarakat yang terlibat di dalamnya untuk selalu menjaga kebersihan. Ajakan juga semestinya dibarengi dengan penyediaan tempat sampah dengan jumlah yang memadai. Penjagaan terhadap pelanggaran lingkungan juga perlu diperketat.

Lalu bagaimana dengan pihak masyarakat yang terlibat dalam kegiatan? Sudah semestinya juga prepare sebelum berangkat. Bekal yang dibawa perlu di evaluasi jumlahnya. Karena menyangkut sampah dari bekal tersebut. Menyediakan kantong plastik juga bisa menjadi alternatif untuk antisipasi minimnya jumlah tempat sampah yang ada. Setiap sampah yang dihasilkan perlu dimasukkan ke kantong plastik pribadi dan dibawa pulang untuk dibuang di rumah.