pilih kemasan alami atau sintetis?

Tahun 90an, bahkan mungkin sebelum itu, manusia masih hidup berdampingan dengan alam. Hampir semua bahan pendukung kehidupan sehari-hari terbuat dari bahan alam. Termasuk juga bungkus makanan ataupun minuman. Wadah minuman terbuat dari tanah. Masyarakat Tuban dan sekitarnya menyebutnya “kendi”. Kendi dilengkapi dengan gelas yang terbuat dari bambu. Penggunaan kendi dan gelas bambu tersebut diyakini menambah kesegaran air minum sebelum adanya teknologi kulkas seperti saat ini.

Tak kalah juga wadah makanan biasanya terbuat dari anyaman bambu. Kalau lagi hajatan malah ada yang unik, menggunakan daun jati sebagai bungkus luarnya. Bagian dalam dilapisi daun pisang. Nasi yang masih panas dapat menguraikan senyawa yang terkandung dalam daun pisang dan jati. Senyawa yang terlepas tersebut menempel dan bercampur dengan nasi sehingga menambah cita rasa nasi yang lebih sedap.

Makanan dengan bungkus daun jati rupanya sampai saat ini masih digandrungi oleh sebagian orang. Seperti Kang Rudi Tubaners, dalam tulisannya yang bertajuk “Nasi Pecel Godong Jati Khas Kabupaten Tuban”. Meski sekarang sudah jaman plastik, namun makanan yang dibungkus dengan kemasan alami memiliki kesan rasa yang berbeda, tetap lebih enak.

Makanan dan minuman dengan kemasan alami tersebut memiliki banyak keuntungan. Senyawa yang terlepas dari bungkus ketika terkena panas tidak membahayakan kesehatan manusia. Bungkus/ wadah yang sudah tidak digunakan mudah terurai sehingga tidak menyebabkan pencemaran, malah dapat berfungsi sebagai pupuk yang dapat menyuburkan tanah. Cara mendapatkannya juga mudah, tanpa mengeluarkan biaya, karena ahan tersebut bisa langsung diambil di pekarangan rumah.

pilih kemasan alami atau sintetis?

Perkembangan zaman rupanya  tidak berpihak pada kemasan alami. Adanya kampanye produk sintetis melalui media ternyata sangat ampuh menggeser penggunaan bahan dari alam. Kampanye tersebut sedikit demi sedikit merubah pola pikir masyarakat menuju pola pikir yang praktis dan elegan. Coba bandingkan, lebih praktis dan elegan mana kertas minyak ataukah daun jati. Menggunakan kertas minyak tidak perlu repot ternoda warna merah dari daun jati. Penampilannya juga lebih menarik, rapi, bersih. Itu baru dibandingkan dengan kertas minyak, bagaimana jika dibandingkan dengan styrofoam? Bungkus berupa daun jelas kalah peringkat dari sisi elegan dan kepraktisannya.

Setelah sekian puluh tahun menggunakan bahan sintetis sebagai bungkus makanan dan minuman, kini manusia mulai sadar kembali tentang dampak buruk penggunaan bahan sintetis secara berlebihan. Sampah menjadi menumpuk, karena sulitnya bahan sintetis terurai. Akibat tumpukan sampah tersebut, banyak wilayah yang terendam banjir karena banyak sampah yang terseret air kemudian masuk ke dalam selokan dan mengakibatkan penyumbatan. Penggunaan bahan sintetis seperti plastik dan styrofoam yang tidak tepat, diduga sebagai salah satu penyebab munculnya berbagai penyakit kronis seperti kanker.

Masih ingat dengan kebijakan di Bandung sekitar tahun 2016 yang melarang penggunaan styrofoam (foam)? Kebijakan tersebut merupakan kebijakan pertama kali di Indonesia. Di negara lain memang sudah ada pelarangan pengunaan foam sebagai bungkus makanan. Beberapa kota di Amerika sudah menerapkan larangan satu tahun lebih awal dari Indonesia.

Dikutip dari VOA Indonesia, bahwa styrofoam (foam) merupakan bahan berbahaya yang dapat memicu penyakit kronis seperti kanker. Foam terbuat dari butiran styrene yang diproses dengan menggunakan benzana. Bahan ini dapat mempengaruhi kelenjar tiroid dan sistem syaraf. Jika terjadi tumpukan benzana dalam waktu lama, maka dapat menyebabkan gangguan sumsum tulang belakang, anemia, menurunnya imunitas, dan kanker.

Foam ini akan terurai senyawanya jika terkena panas dan minyak. Namun dalam kondisi selain itu tidak masalah bagi kesehatan. Meski ada kondisi dimana penggunaan foam aman bagi kesehatan, tapi lebih baik penggunaan dikurangi atau mungkin dihentikan. Hal ini disebabkan karena belum adanya daur ulang foam yang benar-benar signifikan dapat mengurangi jumlah sampah foam, sehingga sering berceceran dimana-mana dan jika hujan terbawa arus air. Ujung-ujungnya akan menjadi penyebab banjir.

Larangan penggunaan foam hanya berdampak pada penurunan sampah foam saja. Hal ini tidak berpengaruh pada penggunaan bungkus makanan berupa plastik. Oleh karena itu, masih perlu pemikiran lebih jauh untuk menciptakan kemasan makanan yang ramah lingkungan dan mudah terurai sehingga benar-benar berdampak terhadap penurunan sampah plastik.